Pengertian
Swasembada Pangan
Swasembada pangan berarti kita mampu utk
mengadakan sendiri kebutuhan pangan masyarakat dengan melakukan realisasi &
konsistensi kebijakan tsb, antara lain dengan melakukan:
1. Pembuatan UU & PP yg berpihak pada petani & lahan pertanian.
2. Pengadaan infra struktur tanaman pangan seperti: pengadaan daerah irigasi & jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju lahan tsb.
3. Penyuluhan & pengembangan terus menerus utk meningkatkan produksi, baik pengembangan bibit, obat2an, teknologi maupun sdm petani.
4. Melakukan Diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan utk bertumpu pada satu makanan pokok saja (dlm hal ini padi/nasi), pilihan diversifikasi di indonesia yg paling mungkin adalah sagu, gandum dan jagung (khususnya indonesia timur).
1. Pembuatan UU & PP yg berpihak pada petani & lahan pertanian.
2. Pengadaan infra struktur tanaman pangan seperti: pengadaan daerah irigasi & jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju lahan tsb.
3. Penyuluhan & pengembangan terus menerus utk meningkatkan produksi, baik pengembangan bibit, obat2an, teknologi maupun sdm petani.
4. Melakukan Diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan utk bertumpu pada satu makanan pokok saja (dlm hal ini padi/nasi), pilihan diversifikasi di indonesia yg paling mungkin adalah sagu, gandum dan jagung (khususnya indonesia timur).
Permasalahan
yang terjadi
Masalah
ketersediaan lahan menjadi kendala utama pencapaian swasembada pangan. Untuk
mencapai swasembada pangan berkelanjutan, pemerintah menetapkan peningkatan
produksi jagung sebesar 10 persen per tahun, kedelai 20 persen, daging sapi
7,93 persen, gula 17,56 persen, dan beras 3,2 persen per tahun. Untuk mencapai
target ini, diperlukan peningkatan areal pertanaman, seperti untuk swasembada
gula, dibutuhkan lahan tambahan seluas 350.000 hektare (ha) dan kedelai
dibutuhkan lahan seluas 500.000 ha. Kondisi ini menjadikan satu lahan pertanian
terpaksa dimanfaatkan untuk menanam berbagai komoditas tanaman pangan secara
bergantian. Akibatnya, Indonesia selalu menghadapi persoalan dilematis dalam
upaya peningkatan produktivitas tanaman.
Suswono
menjelaskan, kendala lain yang dihadapi dalam pencapaian swasembada pangan
terkait masih tingginya alih fungsi (konversi! lahan pertanian ke nonpertanian.
Di samping itu, perubahan iklim yang mengakibatkan cuaca tidak menentu serta
keterbatasan anggaran juga berdampak terhadap upaya swasembada produk strategis
tersebut.
Tantangan
dalam swasembada pangan
Dalam upaya
pencapaian kembali swasembada pangan, ada sejumlah tantangan yang mesti kita
perhatikan, khususnya pencabutan subsidi pertanian serta efisiensi skala
ekonomi. Penguasaan lahan yang sempit dalam usahatani secara ekonomis akan
tidak efisien, apalagi jika ditambah dengan kondisi perpecahan dan perpencaran
(division and
fragmentation). Keadaan ini terjadi dari waktu ke waktu dinegara
kita dengan maraknya peralihan fungsi lahan dan jual beli lahan pertanian dan juga
akibat sistem pewarisan yang berlaku di masyarakat, system penyakapan (tenancy) dan
pertambahan penduduk. Disisi lain kegiatan pertanian yang dilakukan secara umum
masih bersifat individual, sedangkan kelompok tani atau lembaga agribisnis
lokal yang ada masih lebih banyak melaksanakan fungsi sosial daripada
fungsi-fungsi bisnis. Karena itu perlu model baru manajemen usahatani.
Kebijakan Pemerintah terhadap swambada
pangan
Tampaknya, program swasembada
pangan, khususnya beras, tidak akan pernah terwujud selama jajaran pengambil
kebijakan di pemerintahan lebih mementingkan impor ketimbang memperluas
lahan sawah dan membantu petani meningkatkan produksi. Swasembada beras tinggal
ilusi setelah pernah diraih 1984 dan 2004 silam.
Indonesia sebenarnya memiliki
sarana dan prasarana lengkap dan dapat diandalkan untuk mendukung swasembada
beras. Terlebih bila memperhitungkan lahan pertanian padi yang masih potensial
dan luas, di samping jumlah sumber daya manusia (petani) banyak, produksi pupuk
dan benih memadai, serta sistem irigasi yang sudah terbentuk sejak lama, Namun
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda) serta seluruh pihak terkait
malah terkesan memandang sebelah mata sektor pertanian tanaman pangan. Fakta
paling gamblang tentang itu: lahan pesawahan – termasuk yang beririgasi teknis
– terus menyusut secara signifikan akibat tergusur aneka kepentingan
nonpertanian, terutama permukiman dan industri. Maka jangan sesali kalau
produksi beras nasional cenderung menurun. Bahkan kalaupun berbagai faktor amat
menunjang – seperti iklim, pengendalian hama, juga penyediaan berbagai input –
produksi beras nasional sulit sekali ditingkatkan lagi. Produksi beras nasional
boleh dikatakan sudah stagnan di level 50-an juta ton per tahun. Padahal
konsumsi nasional, sebagai konsekuensi pertambahan penduduk, terus meningkat
pasti dan begitu signifikan.
Di lain pihak, negara-negara
seperti Thailand dan Vietnam terus berupaya keras meningkatkan produksi beras
secara intensif. Upaya mereka sungguh tak mengenal lelah, termasuk
mengembangkan dan menerapkan inovasi pertanian. Target mereka bukan lagi
sekadar mencapai swasembada, melainkan tampil menjadi negara produsen beras
terbesar di dunia. Dalam konteks seperti itu pula, Thailand dan Vietnam sering
tampil menjadi “penyelamat” bagi Indonesia ketika persediaan beras di dalam
negeri menyusut. Bagi Indonesia, Thailand dan Vietnam kini menjadi sumber
andalan bagi impor beras.
Tapi, celakanya impor beras
kini terkesan bukan lagi sekadar alternatif sementara. Impor beras seolah sudah
menjadi andalan untuk mengamankan kebutuhan nasional. Di tengah produksi beras
di dalam negeri yang cenderung stagnan atau bahkan terus menurun, sementara
kebutuhan konsumsi mencatat grafik yang kian menanjak, pemerintah tidak cukup
terlecut untuk bertindak habis-habisan menggerakkan upaya peningkatan produksi
beras nasional. Pemerintah terkesan lebih merasa aman dan nyaman mengandalkan
impor. Untuk mendukung salah satu program revitalisasi pertanian tersebut,
pemerintah seharusnya menyiapkan lebih banyak lagi bibit unggul untuk para
petani, sehingga produksi pertanian dari tahun ke tahun akan semakin membaik.
Untuk mewujudkan swasembada yang dimaksud, maka diperlukan peningkatan produksi
beras sebanyak 2 juta ton tahun 2007 dan peningkatan lima persen per tahun
hingga tahun 2009. Kunci keberhasilan peningkatan produksi padi, antara lain
optimalisasi sumber daya pertanian, penerapan teknologi maju dan spesifik
lokasi, dukungan sarana produksi dan permodalan, jaminan harga gabah yang
memberikan insentif produksi serta dukungan penyuluhan pertanian dan
pendampingan. Sementara strategi yang dilakukan untuk mewujudkan keberhasilan
itu, yakni dengan peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan
produksi, dan pemberdayaan kelembagaan pertanian serta dukungan pembiayaan
usaha tani. Sedangkan upaya peningkatan produktivitas padi antara lain melalui
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) di 33 provinsi seluas 2,08 juta hektare,
penanaman padi hibrida di 14 provinsi seluas 181.000 hektare, dan perbaikan
intensifikasi non-PTT di 33 provinsi seluas 10,3 juta hektare. Akan tetapi pada
dasarnya pilihan kebijaksanaan pemerintah ; Swasembada dan Kemandirian, atau
Mengimpor dan Tergantung adalah suatu komitmen politik. Sejak
ucapan Bung Karno “Go to Hell with Your Aid” sepertinya negara kita semakin
tergantung pada pinjaman dari luar negeri, baik negara bersahabat,
maupun lembaga perbankan internasional.
Kesimpulan
Masalah keswasembadaan
pangan intinya adalah pilihan
kebijaksanaan
pembangunan. Sumberdaya
alam jelas masih cukup apabila kita bisa mengolahnya sdengan sebaik-baiknya.
No comments:
Post a Comment